PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan di bidang kesehatan harus dilaksanakan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, karena pada dasarnya pembangunan nasional di bidang kesehatan berkaitan erat dengan peningkatan mutu sumber daya manusia yang merupakan modal dasar dalam melaksanakan pembangunan. Salah satu indikator untuk menentukan derajat kesehatan suatu bangsa ditandai dengan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan bayi. Hal ini merupakan suatu fenomena yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan (Saleha,2009: 1).
Mencapai tingkat kesehatan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan (nifas), bayi dan keluarga serta masyarakat, asuhan masa nifas merupakan salah satu bidang pelayanan kesehatan yang harus mendapat perhatian baik oleh petugas kesehatan seperti dokter kebidanan, bidan dan perawat maupun ibu itu sendiri (Maryunani, 2009: 1 ). Masa nifas merupakan hal penting untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Dari berbagai pengalaman dalam menanggulangi kematian ibu dan bayi di banyak negara, para pakar kesehatan menganjurkan upaya pertolongan difokuskan pada periode intrapartum. Upaya ini terbukti telah menyelamatkan lebih dari separuh ibu bersalin dan bayi baru lahir yang disertai dengan penyulit proses persalinan atau komplikasi yang mengancam keselamatan jiwa. Namun, tidak semua intervensi yang sesuai bagi suatu negara dapat dengan serta merta dijalankan dan memberi dampak menguntungkan bila diterapkan di negara lain (Saleha,2009: 2).
AKI di negara maju berkisar 5-10 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara berkembang berkisar antara 750-1000 kelahiran hidup (Wiknjosatro, 2006: 23). Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, infeksi, eklamsi, dan komplikasi persalinan (Saifuddin, 2002: 6).
Badan World Health Organization Coalition For Improving Maternity Services (CIMS) melahirkan Safe Motherhood Intiative yang merumuskan asuhan sayang ibu, sehingga bidan sebagai tenaga kesehatan berperan penting terhadap masalah kecemasan terutama dalam memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif baik psikososial maupun spiritual kepada pasiennya dan dapat mengidentifikasi timbulnya komplikasi dengan mengenali tanda maupun gejala lebih awal.
Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah dengan Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang dirancangkan oleh presiden Republik Indonesia pada peringatan hari ibu ke 68 tahun 1996 salah satu programnya meningkatkan cakupan pelayanan nifas 90%, dukungan informative, mental dari berbagai pihak khususnya tenaga kesehatan dan keluarga (Manuaba, 2001:41).
Upaya peningkatan wawasan dan pengetahuan kaum ibu mengenai hak reproduksi dan hak kesehatannya tidak dapat dilepaskan dari peran serta aktif masyarakat melalui berbagai kelompok pelayanan kesehatan di kota yogyakarta dalam sambutan tertulisnya pada Sosialisasi Satgas Gerakan Sayang Ibu (GSI) (Dinas Perhubungan,Komunikasi dan Informatika, 2010).
Sebagian perempuan menganggap bahwa masa–masa setelah melahirkan adalah masa–masa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional. Gangguan–gangguan psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari. Gangguan perasaan selama periode masa nifas merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara. (Klinis , 2007).
Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama karena tidak optimal kemampuan ibu nifas untuk melakukan perawatan nifas khususnya melakukan mobilisasi dini (Saifudin, 2006: 2). Mobilisasi sangat penting dilakukan secara dini karena untuk mempertahankan kemandirian yaitu berujuan membantu jalannya penyembuhan ibu setelah melahirkan, pencegahan dalam komplikasi pada ibu yaitu infeksi perineum, mendeteksi secara dini ibu nifas dalam masalah perkemihan, serta mendorong ibu secara mandiri merawat bayinya dan menumbuhkan keeratan antara ibu dan bayinya. Ibu yang yang melakukan mobilisasi dini maka penyembuhannya berlangsung secara cepat, berbeda dengan ibu yang tidak melakukan mobilisasi dini akan merasa lemas karena badan tidak digerakkan.
Masyarakat yang beranggapan bahwa melakukan mobilisasi dini setelah melahirkan menyebabkan proses penyembuhan luka jahitan perineum menjadi lambat. Sehingga ibu dilarang untuk melakukan gerakan aktif. Hasil suatu penelitian terhadap 1.000 orang pasien di 16 rumah sakit di luar negeri menunjukkan bahwa imobilitas (diderita oleh 14,2% pasien) mendapat peringkat ke empat faktor resiko thrombosis (Sarwono, 2002:122). Akibat jika tidak melakukan mobilisasi dini adalah terjadinya peningkatan suhu badan karena terjadi infeksi pada perineum dan perdarahan yang abnormal karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah terbuka
Suatu rencana asuhan diformulasikan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan ibu dan keluarganya. Sedapat mungkin bidan melibatkan mereka semua dalam rencana dan mengatur prioritas serta pilihan mereka untuk setiap tindakan yang dilakukan. Hasil akhir atau tujuan yang diinginkan dicapai disusun dengan istilah yang berpusat pada pasien dan diprioritaskan dengan bekerja sama dengan ibu dan keluarga. Tujuan yang ingin dicapai adalah ibu postpartum akan mengalami pemulihan fisiologi tanpa komplikasi (Saleha,2009: 79).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh penulis pada bulan januari 2010 terhadap 5 ibu nifas hari pertama di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dari 4 ibu nifas tidak melakukan mobilisasi dini karena ibu takut jahitannya lepas dan nyeri pada perutnya. Dengan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan dengan mobilisasi dini ibu nifas hari pertama di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :
DOWNLOAD dengan Ziddu
DOWNLOAD dengan ORON



0 komentar:
Posting Komentar