PENDAHULUAN
Latar BelakangAnemia defisiensi besi pada anak adalah masalah kesehatan yang besar di dunia. Di negara-negara berkembang, 40-45% dari anak umur 0-4 tahun menderita anemia, dan di Asia Tenggara masalah tersebut mencapai 60-70% (De Pee dkk., 2002). Prevalensi anemia gizi besi di Indonesia untuk anak usia 6bulan - 5tahun sekitar 24% dari kalangan ekonomi mampu dan sekitar 38 -73% berasal dari kalangan ekonomi kurang mampu. Sebagian besar penyebab anemia di masyarakat adalah kekuranga zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia kekurangan besi atau anemia gizi besi. (Hardjojoewono, 1990).
Anemia kekurangan besi selama hamil berhubungan dengan tingginya angka bayi prematur dan berat badan lahir rendah. anemia berat meningkatkan resiko kematian ibu saat melahirkan. Kekurangan besi bagi bayi mempengaruhi perkembangan psikomotor yang terlambat lebih dari 10 tahun walaupun setelah pemulihan anemia besi selama bayi (O’Brien dkk., 2003).
Masalah defisiensi besi merupakan penyebab langsung gizi kurang pada bayi dan anak. Hal ini berdampak tidak saja terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. Pemenuhan kebutuhan gizi bayi 0-6 bulan mutlak diperoleh melalui air susu ibu (ASI) bagi bayi dengan ASI ekslusif. Berdasarkan hal ini maka upaya perbaikan gizi bayi 0-6 bulan dilakukan melalui perbaikan gizi sebelum dan pada masa pemberian ASI ekslusif. Selain itu Bank Dunia 2006 mengemukakan bahwa upaya perbaikan gizi bayi 0-6 bulan didasarkan bahwa gizi kurang pada usia kurang dari 2 tahun akan berdampak terhadap penurunan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kecerdasan, dan produktifitas. Dampak ini sebagian besar tidak dapat diperbaiki.
Di Indonesia hanya 14% bayi mendapatkan ASI ekslusif sampai usia 5 bulan dan hanya 8% bayi mendapat ASI ekslusif sampai usia 6 bulan (Depkes. 2004).
Anemia yang terjadi pada ibu menyusui akan berdampak terhadap kemampuan untuk memproduksi ASI yang cukup dimana cadangan atau jaringan ibu akan dipakai untuk memproduksi ASI sehingga ibu sangat beresiko terhadap terjadinya gizi kurang dan anemia yang lebih berat.
Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin di dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, berat badan lahir rendah, abrution placenta dan cadangan zat besi yang berkurang pada bayi yang dilahirkan sudah dalam keadaan anemia (soetjiningsih, 1998). Bayi yang menderita defisiensi besi akan lebih mudah mengalami infeksi dan keterlambatan perkembangan konginitif dan psikomotor yang mungkin dapat menetap, bahkan setelah mengalami masa penyembuhan anemia. Dampak merugikan ini dilaporkan terjadi pada bayi yang mempunyai kadar hemoglobin dibawah 11 g/dl, dan kemudian berkembang menjadi anemia yang lebih berat dan kronis (Killbride dkk., 1999).
Pendapat umum menyatakan bahwa anemia pada bayi tidak ada hubungannya dengan status besi ibu selama hamil kecuali jika ibu menderita anemia sangat berat. Beberapa penelitian juga menyimpulkan tidak ada hubungan bermakna antara kedua variabel tersebut. Data prevalensi anemia dan defisiensi besi pada bayi masih sangat kurang. Hal ini disebabkan asumsi umum yang menyatakan bahwa bayi yang lahir cukup bulan dan dengan berat badan normal memiliki cadangan besi untuk 4-6 bulan pertama di kehidupannya. Banyak bukti yang terkumpul (dari banyak penelitian) menunjukan bahwa bayi yang dilahirkan dengan berat badan normal dari ibu yang anemia ternyata mempunyai cadangan besi rendah dan cenderung menderita anemia (De Pee dkk., 2002)
Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah defisiensi besi seperti penyuluhan gizi, pemberian bantuan pangan, suplemen gizi, diversifikasi pangan, dan Fortifikasi pangan. Fortifikasi merupakan intervensi gizi dengan rasio manfaat-biaya (benefit cost ratio) tertinggi dibanding intervensi gizi lain. Zat gizi yang digunakan dalam fortifikasi makanan bertujuan memperbaiki status gizi ibu menyusui agar menghasilkan ASI optimal untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi.
Berdasarkan survei kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, prevalensi anemia pada balita 0-5 tahun sekitar 47%, anak usia sekolah sekitar 26,5% dan wanita usia subur (WUS) bekisar 40%. Sementara survei di DKI Jakarta tahun 2004 menunjukan angka prevalensi anemia pada balita sekitar 26,5% dan pada ibu hamil 43,5%. Melihat beberapa hasil survei ini, anemia gizi masih merupakan masalah gizi utama pada anak-anak, ibu hamil, dan wanita pada umumnya. (http : //www.info-sehat.com/content.Php.sid. Diakses Tanggal 18 februari 2008).
Sutaryo mengungkapkan bahwa saat ini telah terjadi kekurangan zat besi pada anak-anak dalam kondisi cukup memprihatinkan Di Indonesia kasus anemia defisiensi besi saat ini diketahui telah terjadi pada anak-anak atau bayi mulai umur 3-5 bulan. Di DIY sendiri sekitar 75% anak berusia 6 bulan telah mengalami anemia defisiensi besi.
Setelah melakukan studi pendahuluan di Puskesmas Depok I sleman Yogyakarta bayi yang mendapatkan ASI eksklusif terdapat 0,05% dari 8685 bayi pada tahun 2007. Angka kejadian sakit pada tahun 2007 terdapat sekitar 50.05% dari jumlah bayi yang ada.
Berdasarkan masih tingginya prevalensi anemia pada bayi usia 6 bulan dan ibu menyusui serta pentingnya ASI bagi tumbuh kembang bayi 0-6 bulan maupun peranan besi dalam pertumbuhan bayi maka dilakukan studi “Hubungan antara Pola Pemberian ASI terhadap kejadian anemia pada bayi 6 bulan yang akan dilaksanakan di Posyandu yang berada di wilayah kecamatan depok yogyakarta
Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :
DOWNLOAD dengan Ziddu
DOWNLOAD dengan ORON



0 komentar:
Posting Komentar