PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi pada awal kehidupannya karena ASI mengandung seluruh zat-gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan serta mengandung zat-zat imunologis yang dapat melindungi bayi dari infeksi. Hasil penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa pemberian ASI saja dapat menurunkan angka kematian bayi, terutama kematian karena diare dan infeksi saluran pernapasan akut (WHO, 2001).
Pentingnya ASI bagi kehidupan bayi sudah menjadi perhatian tingkat dunia, sehingga Badan Dunia UNICEF merekomendasikan penggunaan ASI sebagai salah satu butir rencana strategis untuk menurunkan angka kematian bayi yang juga merupakan salah satu sasaran dari Milenium Development Goals (Gillespie, 2003).
Zat kekebalan yang terkandung dalam ASI akan melindungi bayi dari penyakit mencret (diare). Bayi ASI eksklusif lebih sehat dibanding bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif. Anak sehat tentu lebih baik pertumbuhann dan perkembangannya dibanding anak yang sering sakit (Gillespie, 2003).
Pemerintah Indonesia juga berupaya untuk meningkatkan minat dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya ASI untuk bayi. Hal itu tercermin dengan diterbitkannya oleh Direktorat Bina Gizi Departemen Kesehatan 13 pesan pedoman umum gizi seimbang (PUGS) dengan salah satu butirnya adalah memberikan hanya air susu ibu (ASI) sampai bayi berusia 6 (enam) bulan (Soekiman, 2000).
WHO dan UNICEF saat ini merekomendasikan pemberian ASI harus terus dilakukan hingga 2 tahun dan dimungkinkan lebih lama lagi. Bukti kelanjutan pemberian ASI dalam tahun kedua paling kuat dalam keadaan-keadaan dimana higienitas buruk dan tingkat infeksi tinggi. Dalam kondis-kondisi seperti ini, pemberian ASI yang diperpanjang (hingga 2 sampai 3 tahun) telah terbukti mampu melindungi dari penyakit-penyakit infeksi dan mempunyai hubungan positif dengan ketahanan hidup anak (Sarwono, 2002).
Di negara-negara industri, manfaat dari diperpanjangnya pemberian ASI masih kurang terbukti. Sebagai akibatnya, Akademi Pediatri Amerika merekomendasikan pemberian ASI setidaknya 12 bulan dan melanjutkan selama ibu dan sang bayi menginginkan, sedang negara-negara Eropa seperti Denmark dan Inggris cenderung untuk tidak memberikan rekomendasi tentang durasi pemberian ASI setelah 6 bulan pertama. Karena itu untuk WHO wilayah Eropa merekomendasikan bahwa pemberian ASI lebih baik perlu dilanjutkan setelah tahun pertama, dan pada populasi masyarakat dengan tingkat infeksi tinggi meneruskan pemberian ASI selama tahun kedua dan sesudahnya akan menguntungkan bagi bayi (Sarwono, 2002).
Rekomendasi WHO/UNICEF pada pertemuan tahun 1979 di Geneva tentang makanan bayi dan anak antara lain berisi “Menyusukan merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Memberikan susu formula sebagai tambahan dengan dalih apa pun pada bayi baru lahir harus dihindarkan” (Sarwono, 2002).
Di Indonesia ibu yang tidak memberi ASI sebanyak 3-4%., sementara 85% ibu memberi ASI sampai bayi berusia 6 bulan. Setelah bayi berusia 6 bulan mutu dan jumlah ASI berkurang sehingga bayi perlu mendapat makanan. Kurang lebih 40% bayi kurang dari 2 bulan diberi makanan pendamping ASI seperti air matang, susu botol (9%), dan makanan padat (20%). Sementara itu 71% bayi berumur 4-5 bulan sudah diberi makanan padat dan 87% bayi berumur 6-7 bulan sudah diberi makanan padat (BPS, NFPCB, MOH, and MI, 1995).
Pengenalan makanan-makanan tambahan bukan berarti penghentian pemberian ASI. Sebaliknya untuk tahun pertama ASI harus diberikan sebagai sumber makanan utama, dan harus diberikan antara sepertiga dan setengah dari total masukan energi rata-rata sampai akhir tahun pertama. Maksud dari pemberian makanan tambahan adalah untuk menyediakan energi dan nutrisi tambahan, dan idealnya makanan-makanan tambahan ini tidak menggantikan ASI selama 12 bulan pertama. Untuk menjamin volume ASI tetap terjaga, dan untuk menstimulasi produksi susu, para ibu harus terus menyusui bayi-bayi mereka dengan sering selama periode pemberian makanan tambahan (Pediatrics, 2004).
Salah satu suksesnya pemberian ASI adalah memberikan ASI setengah jam pertama setelah lahir. Hasil penelitian menunjukkan hanya 8,3% bayi mendapat ASI setengah jam pertama setelah lahir. WHO menganjurkan pemberian ASI sampai dengan usia 6 bulan, ternyata semakin besar usia bayi semakin rendah presentase pemberian ASI. Rekomendasi dari “Innocenti Declaration” adalah pemberian ASI sampai dengan usia 24 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lamanya bayi mendapat ASI adalah umur 23.9 bulan (Depkes, 2003).
Proporsi anak umur 12-15 bulan yang masih mendapat ASI, menurut SDKI dan Susenas adalah tahun 1997 untuk laki-laki (80,4%), perempuan (80,4%), diperkotaan (80,3%), sedangkan didesa (82,6%). Tahun 1999 untuk laki-laki (81,0%), perempuan (80,9%), diperkotaan (81,2%), dan didesa (84,3%). Menurut SDKI tahun 1991 (87,4%), tahun 1994 (88,2%), dan tahun 1997 (86,0%) (Depkes, 2003).
Proporsi bayi umur 6-9 bulan yang mendapat MP-ASI menurut SDKI dan Susenas yaitu tahun 1997 untuk laki-laki (88,4%), perempuan (88,7%), diperkotaan (88,1%), dan didesa (88,7%), sedangkan pada tahun 1999 untuk laki-laki (90,2%), perempuan (91,3%), diperkotaan (88,8%), dan didesa (90,5%). Sedangkan menurut data Susenas tahun 1991 (81,2%), tahun 1994 (85,3%), dan tahun 1997 (80,9%) (Depkes, 2003).
Menyebutkan bahwa keluhan ASI kurang tidak saja datang dari ibu-ibu yang berstatus gizi kurang, namun juga dari ibu-ibu yang ststus gizinya baik. Hal ini dapat saja terjadi, karena ibu-ibu yang berstatus gizi baik kebanyakan adalah wanita karier dimana frekuensi pemberian ASI berkurang, sehingga produksi ASI juga berkurang (Irawan, 1999).
Tentang hubungan status gizi ibu menyusui terhadap pertumbuhan bayi atau status gizi bayi, Jelliffe dan Jelliffe (2000) menyatakan, bahwa kejadian dini marasmus pada bayi dalam 6 (enam) bulan pertama kehidupan lebih banyak dialami oleh bayi dari ibu-ibu yang status gizinya jelek (Jelliffe dan Jelliffe, 2000).
Konsumsi gizi dan kapasitas kerja ibu mempengaruhi status gizi ibu selama menyusui, selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan ibu menyusui bayinya (Dewey, dkk, 2001). Kebutuhan energi ibu yang menyusui bayi kurang dari 6 (enam) bulan berkisar antara 2800-2900 kcal/hari. Hasil penelitian Hadja dan Astuti (2002) di Sulawesi Selatan, menggambarkan konsumsi energi ibu-ibu balita hanya 1126 kcal atau hanya 38,8% dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil penelitian ini diperkuat oleh temuan Kusin dan Kardjati (1999) di Madura dimana growth-faltering terjadi pada bayi kurang dari 6 (enam) bulan sebagai akibat asupan zat gizi yang buruk dari ASI, karena sebagian besar ibu-ibu di Madura memulai laktasi dengan tidak cukup simpanan lemak selama kehamilan (Irawati dkk, 2002).
Di wilayah Posyandu RW IV Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta yang merupakan daerah yang mendekati perkotaan namun data tentang Balita yang diberi ASI sampai 2 tahun masih sedikit yaitu sekitar 24% balita dari jumlah seluruhnya 50 balita. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara Pola Pemberian ASI Dengan Pertambahan Berat Badan Balita Usia 6-23 bulan di Posyandu RW IV Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta.
Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :
DOWNLOAD dengan Ziddu
DOWNLOAD dengan ORON



0 komentar:
Posting Komentar