PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gerakan pembangunan berwawasan kesehatan sebagai strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sehat tahun 2010 sudah di canangkan oleh Presiden RI pada tanggal 1 Maret 1999. Dengan kebijakan dan strategi baru ini, perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya di semua sektor harus mempertimbangkan dampak terhadap kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Tujuan pembangunan Indonesia sehat 2010 adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia, yang dicirikan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif, dan mandiri (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000). Peningkatan kualitas manusia tidak dapat tercipta dalam waktu yang singkat, sehingga perlu dilakukan sedini mungkin sejak bayi dalam kandungan ibu dan segera setelah bayi lahir. Dengan demikian kesejahteraan ibu dan anak mendapat perhatian khusus sebagai upaya untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas bayi (Depkes RI, 1993).
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah indikator status kesehatan yang peka menerangkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia adalah masih tingginya AKB yaitu 35 per seribu kelahiran hidup (KH). Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan Negara ASEAN lain. Di Philipina, 23,98 per 1000 KH, Thailand 21,83 per 1000 KH, Malasyia 19 per1000 KH, Brunai Darussalam 13,5 per 1000 KH, dan Singapura 3,3 per 1000 KH. Penyebab utama kematian bayi dan balita di Indonesia adalah penyakit infeksi terutama infeksi saluran nafas dan diare (Rahardjo, 2003).
Meskipun menyusui bayi sudah menjadi budaya Indonesia, namun praktik pemberian ASI masih belum memenuhi harapan. Buruknya pemberian ASI dipicu oleh promosi susu formula di berbagai media dan sarana pelayanan kesehatan (SPK) (Depkes RI, 2006). Salah satu upaya tersebut adalah digalakkannya peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI). Air Susu Ibu sebagai sumber gizi utama bagi bayi memiliki keunggulan yang tidak perlu disangsikan lagi, selain sebagai sumber gizi pemberian ASI dapat menjarangkan kehamilan, memberikan kekebalan bagi bayi serta efek psikologis hubungan lekat bayi (maternal–infant bonding) sehingga dapat meningkatkan kualitas maupun kelangsungan hidup anak (Depkes RI, 1993).
Salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan dengan keadaan gizi balita yang baik. Pemeliharaan gizi bayi dan balita yang baik memerlukan pengaturan makanan yang tepat yaitu salah satunya dengan pemberian ASI yang benar dan tepat. Bayi yang mendapat ASI akan lebih terjaga dari penyakit infeksi terutama diare dan ISPA serta mempunyai peluang untuk hidup lebih baik dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula (Rahardjo, 2003).
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002, hanya 3,7% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama. Pemberian ASI pada bayi umur kurang 2 bulan sebesar 64%, antara 2-3 bulan 45,5%, antara 4-5 bulan 13,9 dan antara 6-7 bulan 7,8%. Sementara itu cakupan pemberian susu formula meningkat 3 kali lipat dalam kurun waktu antara 1997 sebesar 10,8% menjadi 32,4% pada tahun 2002 (Depkes RI, 2006).
Gambaran tentang pemberian ASI di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2001, ternyata bayi yang berumur 6 bulan yang masih mendapat ASI saja 6,7%, ASI dan makanan tambahan 84,2% dan yang memberikan makanan tambahan saja 9,1% (BPS, 2001). Gambaran tentang pemberian ASI di Yogyakarta menurut BPS Provinsi DIY dari hasil Susenas 1999, ternyata bayi berumur 0-5 bulan yang masih mendapat ASI saja 7,76% dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 13,81% (BPS, 2000). Dinas Kesehatan Provinsi DIY melaporkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif perkabupaten atau kota tahun 2004 yaitu Gunung Kidul 40,52%, kota Yogyakarta 31,46%, Sleman 30,03%, Kulonprogo 21,76%, dan Bantul 21,62% (Dinkes DIY, 2005). Puskesmas Sanden melaporkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif sampai bayi usia 4 bulan pada tahun 2005 yaitu 37,50% dan ASI eksklusif 6 bulan tahun 2006 yaitu 30,73% (Puskesmas Sanden, 2007)
Menyusui merupakan pengalaman baru bagi ibu post partum sehingga dapat menjadi stressor yang pada akhirnya dapat menimbulkan krisis. Melihat fenomena tersebut untuk mengantisipasi terjadinya krisis pemberian tambahan pengetahuan sangat penting terutama tentang bagaimana cara atau teknik menyusui yang benar (Linasari, 2004).
Proses pemberian ASI eksklusif banyak bergantung pada visi ibu. Para ibu (terutama ibu yang baru pertama kali melahirkan) harus menambah pengetahuannya mengenai pentingnya ASI eksklusif, termasuk keterikatan ibu-bayi (bonding) dan tingginya imunitas dalam ASI sehingga anak akan jarang sakit. Keberhasilan ASI Eksklusif bisa diperoleh bila ibu mempunyai persepsi yang benar soal ASI dan keadaan emosinya stabil. Rasa cemas bingung dan depresi pada ibu menyusui akan menyebabkan hubungan ibu-bayi kurang harmonis, sehingga umumnya mengurangi frekuensi dan lamanya menyusui. Disamping itu juga Stres pada ibu menyusui bisa menyebabkan produksi ASI berkurang (Krisnadi, 2006).
Seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin akan mengalami berbagai masalah, hanya karena tidak mengetahui cara-cara yang sebenarnya sangat sederhana, seperti misalnya cara menaruh bayi pada payudara ketika menyusui, isapan bayi yang menyebabkan puting terasa nyeri, dan masih banyak lagi masalah lain. Terlebih pada minggu pertama setelah persalinan seorang ibu lebih peka dalam emosi. Untuk itu seorang ibu butuh seseorang yang dapat membimbingnya dalam merawat bayi termasuk dalam menyusui (Padmawati dalam Soetjiningsih, 1997)
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa didahului oleh stimulus yang berupa materi sehingga menimbulkan pengetahuan baru, selanjutnya menimbulkan respon batin berupa sikap yang akhirnya menimbulkan respon yang lebih jauh yaitu berupa tindakan. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmojo, 1993).
Penyerapan informasi yang beragam dan berbeda dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan akan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan manusia baik pikiran, perasaan maupun sikapnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula kemampuan dasar yang dimiliki seseorang, khususnya pemberian ASI. Air susu ibu merupakan makanan utama dan terbaik untuk bayi usia 0-2 tahun (Astutik, 2003).
Berdasarkan data dari beberapa penelitian, ternyata belum semua ibu menyusui memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Banyak faktor penyebab tidak berhasilnya pemberian ASI eksklusif 6 bulan, salah satunya adalah pengetahuan. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pendidikan, pengalaman menyusui, informasi lewat media, serta faktor petugas dan pelayanan kesehatan melalui KIE tentang ASI eksklusif oleh petugas kesehatan termasuk perawat, bidan, atau dokter (Notoatmodjo, 2002; Lubis, 1998; Wiryo, 2001)
Menurut uraian diatas bahwa cakupan ibu yang memberikan ASI eksklusif di Kabupaten Bantul terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta, melihat kenyataan tersebut maka penulis memandang perlu diadakan penelitian “Hubungan antara Paritas dengan Pengetahuan Ibu tentang Air Susu Ibu (ASI) di wilayah kerja Puskesmas Sanden Bantul”. Alasan peneliti mengambil Puskesmas Sanden sebagai tempat penelitian adalah karena pelaksanaan pemberian ASI eksklusif pada tahun 2005 dan tahun 2006 kecamatan Sanden belum memenuhi target Bantul sebesar 80%. Serta letak Puskesmas Sanden yang berada di daerah semi perkotaan sehingga diharapkan dapat menggambarkan masyarakat desa dan kota.
Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :
DOWNLOAD dengan Ziddu
DOWNLOAD dengan ORON



0 komentar:
Posting Komentar